Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi partai Gerindra Bambang Haryo menyebut alasan perang dagang Amerika Serikat (AS)-China tidak tepat untuk menjelaskan kinerja ekspor RI yang loyo.
"Karena ini banyak sekali industri manufaktur yang ekspor dari China pada pindah ke Vietnam, Kamboja, Malaysia. Seharusnya Indonesia bisa memperoleh kesempatan dan dimanfaatkan betul. Kami melihat perkembangan Vietnam kuartal I-2019 untuk industri meningkat menguat 86% dan 50% di antaranya dari China," ujarnya di Gedung Paripurna, Jakarta, Selasa (11/6/2019) kemarin.
"Jadi apa yang disampaikan Menkeu tidak benar. Ini sama dengan pembohongan dan hoaks, harus diluruskan. Apa yang dikatakan Menteri Keuangan itu tidak benar, dan ini merupakan pembohongan publik," tegasnya.
Tak tinggal diam, Sri Mulyani pun membantah pernyataan Bambang.
"Yang saya sampaikan statement fakta, kalau bicara preskripsi apa yang harus dilakukan itu beda," tegas Sri Mulyani.
Menurutnya, data ekspor yang dikatakan Bambang pada tahun 2012 hingga 2014 adalah sebelum adanya perang dagang.
"Jadi memang waktu 2014, 2015, 2016 kita masuk dalam suasana kondisi ekonomi global yang sangat menekan, harga komoditas jatuh dan volume dari ekspor kita juga menurun. Ini yang menyebabkan kontraksi, waktu kita sudah lihat recovery yaitu mulanya akhir 2017 dan berlangsung di 2018, tiba-tiba di akhir 2018 presiden Trump eskalasi, ini yang menyebabkan," jelasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Refinitiv dan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia, setidaknya sejak 2012, selalu mengalami kontraksi hingga 2016.
Artinya, dalam kurun waktu lima tahun, nilai ekspor Indonesia selalu berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2016 nilai ekspor Indonesia hanya sebesar US$ 145 miliar atau yang terendah dalam sejak 2009.
Namun ternyata kondisi serupa tidak dialami negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam. Pada periode 2012-2016, kedua negara tersebut terbukti masih mampu meningkatkan kinerja ekspor dari tahun ke tahun. Sangat kontras dengan kondisi Indonesia.
Kabar baiknya, pada tahun 2017 Indonesia sudah mulai mampu untuk menggenjot kinerja ekspor dengan pertumbuhan mencapai 16,3%. Pun melambat, pada tahun 2018 ekspor juga masih tumbuh sebesar 6,7%.
Tapi ada juga kabar kurang baik, karena angka pertumbuhan ekspor yang sedemikian rupa itu berada di bawah Malaysia dan Vietnam. Artinya, negara tetangga memang terbukti mampu mencatatkan kinerja ekspor yang lebih baik.
Padahal keduanya juga menghadapi gejolak perekonomian global yang sama dengan Indonesia. Saat ada perang dagang AS-China pun, Malaysia dan Vietnam juga berada dalam kondisi yang sama.
Bila dibilang kinerja ekspor Indonesia agak pas-pasan dan cenderung loyo, ada benarnya. Ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas mentah perlu menjadi perhatian yang serius.
Industri Adalah Kunci
Kinerja ekspor yang loyo sedikit banyak merupakan dampak dari ketergantungan Indonesia atas barang-barang mentah yang besar ketimbang barang jadi.
Hingga saat ini, komoditas minyak sawit dan batu bara masih menjadi primadona ekspor Tanah Air. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2018 porsi kedua komoditas tersebut terhadap total ekspor non-migas hampir mencapai 30%. Porsi yang dapat mempengaruhi kinerja secara keseluruhan.
Alhasil, sat harga-harga komoditas berguguran seperti yang terjadi pada tahun 2018, kinerja perdagangan Indonesia akan mendapat tekanan hebat. Tercatat pada tahun 2018 neraca dagang RI mengalami defisit hingga US$ 8,7 miliar atau yang pailng dalam sepanjang pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Hal itu tidak terlepas dari profil industri manufaktur dalam negeri yang selalu berada dalam tekanan dalam 10 tahun terakhir.
Pada tahun 2017, porsi industri manufaktur Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah tinggal 20,16% saja. Sedangkan Malaysia masih lebih tinggi, yaitu 22,72%.
Padahal jika ditarik ke belakang, yaitu pada tahun 2009, industri manufaktur Indonesia bisa menyumbang 26,35% PDB, jauh lebih tinggi dibanding Malaysia yang hanya 23,8%.
Vietnam memang agaknya masih jauh tertinggal, karena porsi manufakturnya masih 15,32% PDB di tahun 2017. Akan tetapi bila dicermati, sejak tahun 2010 porsi manufaktur Vietnam sudah melesat cukup tinggi. Tampaknya memang ada usaha dari Vietnam untuk mengejar ketertinggalan di bidang industri pengolahan.
Melihat data-data tersebut, kondisi perekonomian Indonesia terindikasi merupakan yang paling rentan terhadap gejolak ekonomi global (dibanding Malaysia dan Vietnam). Sebab, lambatnya pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri akan membuat ketergantungan ekspor akan barang-barang mentah akan semakin tinggi.
Alhasil harga komoditas global akan semakin memainkan peran yang cukup penting. Saat harga-harga komoditas sedang anjlok seperti sekarang ini, kemungkinan kinerja ekspor Merah Putih juga akan lesu.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) di tahun 2019, Indeks Harga Komoditas Ekspor Indonesia (IHKEI) akan terkontraksi sebesar 3,1 poin, lebih dalam ketimbang kontraksi tahun 2018 yang sebesar 2,8 poin.
Artikel asli berita ini bisa dilihat di CNBC Indonesia melalui tautan berikut ini: Sri Mulyani Disebut Menebar Hoax, Bagaimana Faktanya? (ang/ang)
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4583802/sri-mulyani-dituduh-menebar-hoax-bagaimana-faktanya
2019-06-12 09:36:00Z
52781658436120
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sri Mulyani Dituduh Menebar Hoax, Bagaimana Faktanya? - detikFinance"
Post a Comment