JAKARTA, KOMPAS.com - Harga minyak anjlok sebesar 20 persen setelah Rusia, produsen minyak terbesar kedua di OPEC +, menolak pemangkasan produksi minyak dunia. Padahal, minyak global juga telah terpukul akibat rendahnya permintaan karena wabah virus corona.
Adapun perjanjian mengharuskan komitmen Rusia dan Arab Saudi memangkas produksi masing-masing 300.000 barrel per hari dan 489.000 barrel per hari. Sementara itu pada Januari 2020, produksi Rusia turun hanya 234.000 barrel per hari sedangkan Arab Saudi turun 900.000 barel per hari.
Akibatnya, Saudi Aramco telah menurunkan harga untuk penjualan minyak mentah ke Asia sebesar 40 persen menjadi 6 dollar AS per barrel.
Lantas, apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Baca juga: Harga Minyak Dunia Diprediksi Akan Tetap Rendah, Ini Sebabnya
Tahun lalu Indonesia mengimpor minyak mentah dan bahan bakar sulingan dari Arab Saudi senilai 2,8 miliar dollar AS. Hal itu menyumbang 13 persen dari total impor produk minyak sebesar 21,8 miliar dollar AS.
Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan minyak pada tahun lalu sebesar 15,1 miliar dollar AS. Namun kepercayaan umum menyebut harga minyak yang lebih rendah mungkin bermanfaat bagi perekonomian.
Nyatanya, ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengatakan, jatuhnya harga minyak yang dalam akan berisiko pada neraca transaksi berjalan.
"Pertama, ini menandakan lingkungan risk-off yang juga bisa menyeret turunnya harga komoditas lainnya. Pada akhirnya menambah tekanan pada transaksi berjalan," kata Satria dalam laporan yang diterima Kompas.com, Selasa (10/3/2020).
Data yang dipaparkan Satria tercatat harga minyak kelapa sawit, karet, dan batu bara (3 komoditas utama Indonesia) mengalami penurunan (year to date), masing-masing turun sebesar 19,5 persen, 12,9 persen, dan 2,6 persen. Jika minyak terus jatuh, maka hal komoditas bakal tertekan lebih lanjut.
Baca juga: Meski Harga Minyak Anjlok, Pemerintah Tak Buru-buru Turunkan Harga BBM
Kedua kata Satria, turunnya harga minyak bisa membebani rupiah karena aset-aset safe haven. Satria kemudian melacak kembali jatuhnya harga minyak pada tahun 2001, 2008, dan 2014 ketika harga minyak turun lebih dari 30 persen dalam 3 bulan.
"Temuan kami di sini adalah indeks Dollar AS (DXY), sebagai proksi safe-haven, menguat secara signifikan antara 3 hingga 6 bulan setelah harga minyak mulai turun. IDR (rupiah) salah satu mata uang yang terimbas "paling sakit" karena dolar AS yang lebih kuat," ujar Satria.
Di sisi lain, jatuhnya harga minyak juga dapat memperbesar defisit anggaran seperti halnya ekonomi membutuhkan lebih banyak strimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan.
Apalagi meskipun Indonesia merupakan ekonomi pengimpor minyak, Indonesia masih mengekspor minyak mentah ke luar negeri. Pendapatan dari minyak dan gas berkontribusi besar terhadap keseimbangan fiskal.
Tahun ini saja, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari industri minyak dan gas (O&G) ditargetkan melebihi Rp 127,31 triliun, lebih besar dari yang ditargetkan pada Pph migas sebesar Rp 57,4 triliun.
"Menurut perkiraan kami, separuh dari rata-rata Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) dari 63 dollar AS per barel dalam asumsi APBN, dengan harga minyak saat ini sekitar 31,5 dollar AS per barel, dapat dengan mudah menekan pendapatan negara sebesar Rp 73.88 triliun, melebarkan defisit fiskal sebesar 0,60-0,65 persen dari PDB," jelas Satria.
Sementara itu menurut perkiraan Kementerian keuangan, setiap penurunan ICP 1 dollar AS per barrel akan memperluas defisit fiskal sebesar Rp 300 miliar hingga Rp 500 miliar, dengan asumsi bahwa harga minyak yang lebih rendah juga akan menekan pengeluaran, terutama untuk subsidi energi.
Baca juga: Harga Minyak Dunia Anjlok, Ini Dampaknya Menurut Sri Mulyani
Jadi stimulus ekonomi Indonesia
Tetapi yang perlu diingat, Satria menjelaskan harga minyak yang rendah masih bisa menjadi stimulus alami bagi perekonomian. Satria memprediksi adanya penurunan inflasi tahun ini, saat Badan Pusat Statistik mencatat bahan bakar memiliki bobot lebih tinggi dalam inflasi, meningkat jadi 3,78 persen dari 3,05 persen.
Jika penurunan harga minyak diterjemahkan ke dalam harga bahan bakar domestik yang lebih rendah, hal tersebut akan mendorong deflasi terhadap biaya transportasi.
Untuk itu, ini waktunya pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih dari BBM bersubsidi ke BBM non-subsidi. Secara bertahap, pemerintah bisa menghapus subsidi BBM.
"Kami juga berpikir industri manufaktur lokal akan mendapat manfaat dari harga minyak yang lebih rendah, terutama karena minyak masih merupakan bagian terbesar dari biaya inputnya," pungkas Satria.
Baca juga: Harga Minyak Mentah Anjlok ke Level Terendah sejak Perang Teluk
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMicWh0dHBzOi8vbW9uZXkua29tcGFzLmNvbS9yZWFkLzIwMjAvMDMvMTAvMTMzNzAwMzI2L2hhcmdhLW1pbnlhay1kdW5pYS1hbmpsb2staW5kb25lc2lhLXJ1Z2ktYXRhdS11bnR1bmctP3BhZ2U9YWxs0gFsaHR0cHM6Ly9hbXAua29tcGFzLmNvbS9tb25leS9yZWFkLzIwMjAvMDMvMTAvMTMzNzAwMzI2L2hhcmdhLW1pbnlhay1kdW5pYS1hbmpsb2staW5kb25lc2lhLXJ1Z2ktYXRhdS11bnR1bmct?oc=5
2020-03-10 06:37:00Z
52782075965060
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Harga Minyak Dunia Anjlok, Indonesia Rugi atau Untung? - Kompas.com - KOMPAS.com"
Post a Comment