Jakarta, CNBC Indonesia - Berbeda dari harga batu bara yang melonjak sepekan ini, harga minyak mentah dunia justru cenderung tertekan, melanjutkan koreksi sepekan sebelumnya, di tengah kian agresifnya bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuan.
Pada Jumat (24/6/2022) harga kontrak berjangka minyak mentah jenis Brent yang menjadi acuan Eropa melesat 2,79% ke US$ 113,7/barel, sedangkan harga kontrak minyak acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate (WTI) lompat 3,21% ke US$ 107,6/barel.
Secara mingguan, harga kedua kontrak acuan energi utama dunia tersebut terhitung flat untuk minyak Brent, dan drop 1,77% untuk WTI, dari posisi pekan lalu di US$ 113,1/barel dan US$ 109,6/barel.
Tren pelemahan ini melanjutkan koreksi sepekan sebelumnya yang masing-masing sebesar 7,5% dan 9,2% dari US$ 122/barel (Brent) dan US$ 114,7/barel (WTI).
Sepanjang tahun berjalan, harga keduanya terhitung masih melesat 45,4% dan 43% dari posisi akhir Desember 2021 di angka US$ 77,78/barel dan US$ 75,21/barel.
Harga minyak telah meningkat sejak tahun lalu dan mencatatkan rekor harga tertinggi tahun ini pada 8 Maret 2022 ketika Rusia menyerang Ukraina, di mana Brent menyentuh US$ 128/barel sementara WTI di US$ 123,7/barel. Namun, sejak akhir Mei harga minyak mentah telah jatuh sekitar 10% dari US$ 120/barel lebih ke posisi saat ini.
Pakar energi Dan Yergin mengatakan ada dua alasan kenapa harga minyak dunia turun dalam sebulan terakhir meskipun pasar masih ketat, yakni The Fed dan serangan Rusia ke Ukraina yang terus berlangsung.
Yergin, wakil ketua S&P Global, mengatakan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) memilih menghajar inflasi meski dengan risiko mendekatkan ekonomi ke dalam resesi sehingga harga minyak turun. Pada Rabu kemarin, Ketua The Fed Jerome Powell kepada parlemen menyatakan bertekad menurunkan inflasi.
Dia juga mengaitkan pelemahan harga minyak dengan prospek permintaan yang tidak pasti dari China. Meski lonjakan kasus virus Covid-19 teratasi, tetapi masih tidak jelas seberapa cepat dunia usaha di China akan dapat pulih.
Banyak analis yang melihat ekonomi China akan tumbuh melambat ke depan. Tingkat pemulihan dan pembukaan kembali akan memukul permintaan minyak, tetapi ketidakpastian itu telah "menahan harga [minyak] agar tidak naik lebih tinggi," kata Yergin.
China adalah konsumen terbesar kedua minyak mentah dunia. Berdasarkan data BP Statistic pada 2020 konsumsi minyak mentah dunia China mencapai 14.225 juta barel per hari (bph) atau 16,1% dari total konsumsi dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Tak Terbendung, Harga Minyak Brent Lompat ke US$ 104/Barel
(ags/vap)
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMidGh0dHBzOi8vd3d3LmNuYmNpbmRvbmVzaWEuY29tL21hcmtldC8yMDIyMDYyNjEzNTkxNC0xNy0zNTA0NDgvdGhlLWZlZC1raWFuLW5la2F0LWhhcmdhLW1pbnlhay1tZW50YWgtcHVuLWphZGkta29yYmFu0gEA?oc=5
2022-06-26 09:00:01Z
1478156093
Bagikan Berita Ini
0 Response to "The Fed Kian Nekat, Harga Minyak Mentah pun Jadi "Korban" - CNBC Indonesia"
Post a Comment