JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks harga konsumen mengalami penurunan atau deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada Juni 2024. Hal ini melanjutkan deflasi pada bulan sebelumnya.
Plt. Sekretaris Utama BPS Imam Machdi mengatakan, pada Juni 2024 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen secara mtm. Deflasi ini lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya, yakni sebesar 0,03 persen.
"Deflasi bulan Juni 2024 ini lebih dalam dibandingkan Mei 2024, dan merupakan deflasi kedua pada tahun 2024," ujar Plt. Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, dalam konferensi pers, di Kantor BPS, Jakarta, Senin (1/7/2024).
Baca juga: BPS Laporkan Deflasi 0,08 Persen pada Juni 2024
Dilihat berdasarkan komponennya, pemicu utama deflasi lagi-lagi berasal dari komponen komoditas pangan yang bergejolak. Tercatat komponen ini memberikan andil deflasi sebesar 0,98 persen pada Juni lalu. Ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 0,69 persen.
Adapun komponen harga bergejolak kerap kali dikaitkan dengan daya beli masyarakat. Pasalnya, pergerakan indeks pada komponen ini salah satunya dipicu oleh permintaan masyarakat. Hal ini pun dibenarkan oleh Deputi Bidang Statistik Produks BPS, M. Habibullah.
"Kalau kita lihat dari deflasi 2 bulan berturut-turut disumbang komoditas volatile food," ujar dia.
"Memang kalu kita lihat komoditas volatile food ini cenderung berfluktuasi, jadi dipengaruhi dari sisi penawaran," sambungnya.
Meskipun demikian, Habibullah bilang, deflasi komponen harga bergejolak tidak serta-merta berarti terjadi pelemahan daya beli. Sebab, perkembangan laju komponen itu juga dipengaruhi oleh sisi pasokan.
"Dari sisi penawaran di mana panen mendorong harga turun," katanya.
Selain itu, ia menilai, jika ingin melihat daya beli masyarakat, data yang lebih tepat digunakan ialah laju IHK secara tahunan (year on year/yoy), sebab data ini sudah menghapus faktor musiman dalam penghitungannya. Tercatat pada Juni lalu masih terjadi inflasi sebesar 2,51 persen secara tahunan, lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 2,84 persen.
Menurut dia, untuk mencari tahu penurunan daya beli masyarakat juga bisa melihat data pergerakan masyarakat pada momentum liburan. Lewat data tersebut, dapat diketahui seberapa besar kemampuan masyarakat mengeluarkan dana untuk kebutuhan bersifat tersier seperti perjalanan wisata.
"(Mencari tahu turunnya daya beli masyarakat) perlu pendalaman lebih lanjut," ucap Habibullah.
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.https://news.google.com/rss/articles/CBMiemh0dHBzOi8vbW9uZXkua29tcGFzLmNvbS9yZWFkLzIwMjQvMDcvMDIvMTA0MDAwMTI2L2RlZmxhc2ktMi1idWxhbi1iZXJ0dXJ1dC10dXJ1dC1zaW55YWwtbnlhdGEtZGF5YS1iZWxpLW1hc3lhcmFrYXQtdHVydW4t0gEA?oc=5
2024-07-02 03:40:00Z
CBMiemh0dHBzOi8vbW9uZXkua29tcGFzLmNvbS9yZWFkLzIwMjQvMDcvMDIvMTA0MDAwMTI2L2RlZmxhc2ktMi1idWxhbi1iZXJ0dXJ1dC10dXJ1dC1zaW55YWwtbnlhdGEtZGF5YS1iZWxpLW1hc3lhcmFrYXQtdHVydW4t0gEA
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Deflasi 2 Bulan Berturut-turut, Sinyal Nyata Daya Beli Masyarakat Turun? - Kompas.com"
Post a Comment