Bagaimana kronologi sebenarnya sampai perseroan terancam default?
Catatan CNBC Indonesia, kasus ini bermula dari Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan perusahaan dengan kode saham KIJA tersebut pada 26 Juni 2019 lalu. Dalam salah satu agendanya, Rapat membahas mengenai perubahan susunan anggota direksi dan komisaris.
Agenda itu diadakan lantaran adanya usulan dari pemegang saham perseroan, PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank.
Kedua kuasa pemegang saham tersebut mengusulkan Sugiharto sebagai Direktur Utama dn Aries Liman sebagai komisaris dalam surat yang tertanggal 25 Juni 2019 kepada pimpinan Rapat. Padahal, seharusnya penyampaian surat usulan nama berikut jabatannya telah melalui tahapan evaluasi dari Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR) yang dijalankan Dewan Komisaris.
Penyampaian surat usulan jabatan direktur utama yang baru diserahkan saat Rapat merupakan hal yang kurang lazim karena tugas dan wewenang fungsi KNR tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Apalagi, dalam rapat tersebut harus lansung dilakukan pemungutan suara pemegang saham, sebanyak 52,11% suara setuju. Hanya saja, manajemen tidak bisa mengomentari lebih lanjut, apakah angka 52,11% tersebut termasuk kepemilikan saham Mu Min Ali Gunawan.
"Apa yang terjadi di atas (pemegang saham) kita tidak tahu menahu, untuk itu kami gak bisa berikan komentar. Kalau Setyono Djuandi Darmono benar, beliau founder Jababeka, dan sampai sekarang masih menjadi pemegang saham Jababeka," kata Direktur Utama Jababeka, Budianto Liman, saat konferensi pers di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Dengan adanya perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris perusahaan, mengakibatkan perusahaan harus melakukan buyback (pembelian kembali) dengan harga pembelian 101% dari nilai pokok notes sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,26 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nilai ini belum termasuk kewajiban bunga yang harus dibayarkan.
Pada 15 November 2017 lalu, JIBV menerbitkan guaranteed senior notes 2023 ("Further Notes") sebesar US$ 110,85 juta. Further notes tersebut merupakan terbitan lanjutan dari jenis surat utang yang sama pada 5 dan 19 Oktober 2016 senilai US$ 189,15 juta. Surat utang tersebut dikenakan suku bunga 6,5% yang dibayarkan tiap semester. Guaranteed senior notes 2023 tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian antara JIBV, KIJA, dan The Bank of New York Mellon sebagai wali amanat.
"Ini perusahaan jadi victim dari acting in concert, bukan karena kinerja, kalau karena kinerja berbeda," kata Budianto menambahkan.
Lantas, dengan adanya sentimen ini apakah bisa menggangu bisnis KIJA ke depannya? Budianto menegaskan, perseroan akan berusaha menjalankan bisnis seperti biasanya. "Kami berusaha untuk tetap menjalankan bisnis as usual, meyakinkan pelanggan, stakeholder, vendor, suplier, bahwa sebenarnya tidak ada yang berbeda," jelas dia.
Sentimen ini sempat membuat harga saham KIJA tergelincir pada perdagangan hari ini, Senin (8/7/2019) hingga 6,9% ke level Rp 296 per saham. Investor asing hari ini langsung menjual Rp 6,5 juta atas kepemilikan saham KIJA, sementara sejak awal Januari hingga 8 Juli ini, asing melepas Rp 119 miliar.
Tak lama berselang, pada sesi kedua perdagangan, Bursa Efek Indonesia langsung menghentikan sementara perdagangan saham Jababeka. Berdasarkan surat edaran bursa, suspensi ini dikenakan untuk saham ini lantaran perusahaan memiliki risiko besar tak mampu membayarkan utangnya dalam bentuk notes dalam waktu dekat.
"Dalam rangka menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar dan efisien, bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara perdagangan efek Perusahaan di seluruh pasar sejak sesi II perdagangan hari Senin, 8 Juli 2019 hingga pengumuman lebih lanjut," tulis Teuku Fahmi Ariandar, P.H. Kepala Divisi Penilaian Perusahaan BEI dalam suratnya, siang ini Senin (8/7/2019).
(dob/dob)
https://www.cnbcindonesia.com/market/20190708203607-17-83516/jababeka-terancam-gagal-bayar-ini-kronologinya
2019-07-08 13:50:07Z
52781698031563
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jababeka Terancam Gagal Bayar, Ini Kronologinya! - CNBC Indonesia"
Post a Comment